Forestfund, 8 Maret 2021. Deforestasi hutan di Indonesia yang tak kunjung henti menunjukkan bukti perlunya keterlibatan banyak pihak dalam menjaga hutan Indonesia. Oleh karenanya aktivitas monitoring harus terus dilakukan, disinilah peran penting pemantau independen untuk menjaga kelestarian hutan Indonesia.
Salah satu kerusakan hutan terparah adalah Pulau Sumatera yang menurut catatan Forest Watch Indonesia (FWI) menempati posisi terbesar kedua setelah Kalimantan antara periode 2013-2017.
Menurut catatan Genesis, Bengkulu yang merupakan salah satu provinsi di Sumatera memiliki 924 ribu hektar kawasan hutan atau setara dengan 46 % dari total luas wilayah administrasinya. Namun luas tutupan hutan dari tahun ke tahun telah mengalami penurunan jumlah tutupan hutan, hal ini disebabkan eksploitasi hutan baik berupa konsesi HPH, perkebunan hingga pertambangan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh para pemerhati dan penggiat lingkungan untuk menekan semakin bertambahnya jumlah kerusakan hutan di provinsi tersebut. Langkah-langkah berupa penyadaran masyarakat, kampanye dan komunikasi dengan pihak-pihak terkait serta pelibatan masyarakat dalam menjaga hutan sekitar terus dilakukan.
Keterbatasan dalam beberapa hal yang dihadapi para penggiat lingkungan dan juga masyarakat sekitar hutan seringkali menjadi salah satu kendala dalam proses pemantauan hutan. Padahal peran pemantau independen ini sangat penting dalam proses keberlanjutan hutan dan tata kelola hutan.
Meskipun demikian, keterbatasan tersebut haruslah dipandang sebagai suatu tantangan bagi para pemantau independen untuk dapat menemukan cara atau metode yang efektif termasuk mengenal dan menggunakan sarana yang ada.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan dalam proses pemantauan hutan. Melalui sistem ini peredaran kayu dari sumber-sumber tidak sah dapat dikendalikan, yang pada akhirnya dapat menekan laju kerusakan hutan.
Oleh karenanya para pemantau independen perlu memiliki pemahaman memadai mengenai hal-hal terkait dengan SVLK baik aturan-aturan di dalamnya maupun hal-hal teknis penerapan dalam pemantauan hutan.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh Genesis, sebuah lembaga yang berdiri pada tahun 2004 dan memiliki perhatian atas kerusakan lingkungan di wilayah Bengkulu menyelenggarakan sebuah pelatihan bagi para pemantau independen yang juga melibatkan komunitas, khususnya yang tinggal di sekitar wilayah konsesi.
Pelatihan ini ditujukan selain untuk meningkatkan kapasitas pemantau independen terkait dengan legalitas kayu, juga mengukur pemahaman para peserta mengenai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), memverifikasi data dan informasi hingga hal teknis lainnya.
Kegiatan yang didukung oleh Independent Forest Monitoring Fund ini diselenggarakan dua hari sejak 7 sampai dengan 8 Januari 2021 dan diikuti sebanyak 23 peserta yang diantaranya 6 perempuan dari berbagai lembaga pemerhati lingkungan seperti Walhi Bengkulu, Kanopi, Kelopak dan komunitas Mukomuko dan Bengkulu Utara.