Konsolidasi Pemantau Independen: Tantangan dan Aksi Nyata di Masa yang Akan Datang

Konsolidasi Pemantau Independen: Tantangan dan Aksi Nyata di Masa yang Akan Datang

Bogor - Rabu, 30 Agustus 2023 - Pemantauan hutan merupakan elemen penting dalam upaya menjaga keberlanjutan lingkungan dan keseimbangan ekosistem. Dalam konteks ini, peran pemantau independen yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil (OMS), masyarakat adat dan lokal menjadi sangat penting, karena mereka merupakan pihak yang menjalankan fungsi check and balance. Namun, mewujudkan pemantauan hutan yang efektif dan berkelanjutan tidaklah mudah. Berbagai tantangan perlu diatasi agar upaya ini berhasil.

Dalam upaya mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi, Independent Forest Monitoring Fund (IFM Fund) telah berkolaborasi dengan World Resources Institute Indonesia (WRI Indonesia) untuk menyelenggarakan suatu pertemuan konsolidasi bagi para pemantau independen. Pertemuan tersebut dilaksanakan di Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 30 Agustus 2023. Kegiatan ini merupakan hal yang sangat penting karena menjadi forum bagi para pemantau dari berbagai provinsi di Indonesia. Forum ini berguna untuk diskusi mengenai tantangan mengenai efektivitas pemantauan dan perlindungan terhadap pemantau independen. Sebelumnya, kegiatan serupa juga telah dilaksanakan oleh IFM Fund dan WRI Indonesia di Manokwari untuk mewadahi pemantau-pemantau independen yang berada di wilayah Papua.

Melinda Astari dari IFM Fund menyoroti berbagai tantangan yang akan terus dihadapi oleh pemantau independen. Tantangan-tantangan tersebut di antaranya keterbatasan akses dalam keterbukaan informasi yang disediakan oleh pihak berwenang. Aksesibilitas terhadap data dan informasi yang lebih baik sangat diperlukan untuk kerja-kerja pemantauan. Dengan begitu, para pemantau independen dapat segera mengidentifikasi adanya aktivitas ilegal.

Di samping itu, Melinda Astari juga menekankan urgensi regenerasi pemantau independen sebagai aspek penting dalam memastikan kelangsungan pemantauan independen. Sampai saat ini, IFM Fund telah berhasil memfasilitasi dan mendukung sebanyak 380 pemantau independen melalui konsolidasi, pelatihan, maupun kegiatan pemantauan. Namun, jumlah tersebut ternyata belum seimbang bila dibandingkan dengan jumlah objek pemantauan yang ada. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, bahwa terdapat 596 pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dengan total luas mencapai 29.921.229 hektar, dan 1.545 pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan (PBPHH) Kayu.

Dari sisi kualitas pemantauan, Mirzha Hanifah dari WRI Indonesia menggarisbawahi pentingnya teknologi dan data spasial saat ini. Tantangan di masa depan adalah bagaimana mengoptimalkan teknologi, terutama penginderaan jarak jauh untuk membantu Pemantau Independen dalam menjaga hutan dari deforestasi. Mirzha mengambil contoh Brasil yang berhasil meningkatkan pengelolaan hutan setelah menghadapi kritik atas tingkat deforestasinya. Brasil memiliki sistem deteksi deforestasi secara cepat dan akurat serta platform yang menyediakan data kondisi hutan secara aktual. seharusnya Indonesia dapat meniru Brasil dalam peningkatan system yang menggunakan penginderaan jauh. Data spasial dan informasi visual yang diperoleh melalui penginderaan jarak jauh dapat digunakan sebagai alat yang mendukung upaya penegakan hukum yang lebih efektif.

Selanjutnya, Difa Shafira dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengulas situasi penegakan hukum di sektor kehutanan. Sampai saat ini, penegakan hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia masih terhambat. Berbagai contoh vonis yang tidak masuk akal dan hukuman yang tidak dijalankan dengan efektif, memungkinkan pelaku perusakan hutan tetap beroperasi. Atensi lebih juga harus diberikan pada hubungan-hubungan informal antar penegak hukum dengan pelaku industri, karena hal ini sering menjadi landasan lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

Pandangan dari para pemantau yang hadir juga menguatkan argumen, bahwa sistem pelaporan yang tersedia di kanal pengaduan intansi penegak hukum maupun KLHK masih banyak yang harus dibenahi. Seringkali pemantau menghadapi hambatan ketika mencoba melaporkan temuan atau pelanggaran di kanal pengaduan. Sistem pelaporan yang tidak efisien atau tidak responsif dapat menghambat upaya pemantau untuk menyampaikan informasi yang penting dan mendesak kepada pihak berwenang.

Di sisi lain, peningkatan protokol standar keamanan dan keselamatan bagi pemantau independen menjadi langkah penting untuk menjaga kesinambungan pemantauan. Danial Prawardani dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) memberikan pandangan tentang pentingnya manajemen risiko dalam pekerjaan pemantauan. Tugas pemantau independen seringkali menghadapi tantangan berupa ancaman fisik maupun verbal, sehingga perlu memperkuat protokol keamanan dan perlindungan kepada pemantau. Dengan memberikan perlindungan yang memadai dan manajemen risiko yang efektif, pemantau independen dapat meminimalisir resiko di lapangan. Namun, hal tersebut sering luput, sehingga pemantau yang hadir mengusulkan adanya kerjasama dengan kementerian/lembaga penegak hukum dan lembaga bantuan hukum.

Upaya dalam menjawab tantangan yang dihadapi oleh pemantau independen juga dapat melibatkan pendekatan dengan membuat pemantauan menjadi lebih menarik. Selain itu, perlu adanya pembagian peran antara pemantau di tingkat daerah dan tingkat nasional, misalnya investigasi lapang dilakukan pemantau di tingkat daerah, kemudian pelaporan dan pengawalan laporan tersebut dilakukan oleh pemantau di tingkat nasional. Mufti Barri dari Forest Watch Indonesia (FWI) memberikan beberapa cara yang dapat dilakukan dalam melakukan pemantauan, seperti pemantauan perizinan, analisis data, dan pemantauan lapangan. Selain itu, Mufti mengusulkan agar para pemantau di lapangan tidak terbebani dengan tugas analisis data, tetapi cukup dengan mengambil foto dan mencatat koordinat, sedangkan pengolahan data dapat dilakukan oleh tim di tingkat nasional.

Konsolidasi ini menghasilkan kesepakatan bersama Rencana Tindak Lanjut (RTL). Beberapa hal yang menjadi langkah tindak lanjut dalam RTL melibatkan peningkatan safety security pemantau melalui jejaring dan hubungan baik dengan Pemerintah atau Lembaga Penegak Hukum, Komnas HAM, dan lembaga lain secara langsung maupun tidak langsung. Pendanaan khusus aspek perlindungan pemantau juga perlu dialokasikan. Kemudian, konsolidasi dengan KLHK untuk mendorong penegakan dan penanganan laporan, tidak terbatas pada hasil temuan yang lengkap dan pemantauan perizinan. Selain itu juga mendorong KLHK untuk meningkatkan mutu pelayanan serta penyediaan data dan informasi yang memang seharusnya dapat diakses secara publik.

RTL yang lainnya mencakup pembangunan sistem informasi untuk menyediakan data dan informasi yang dibutuhkan oleh Pemantau Independen. Regenerasi Pemantau independen serta peningkatan efisiensi pemantauan jarak jauh melalui teknologi penginderaan jarak jauh sebagai respon dari keterbatasan anggaran. Pembuatan modul yang komprehensif mengenai cara melakukan pemantauan, melaporkan hasil, dan mengawal pelaporan. Dorongan untuk meningkatkan sistem pelacakan kayu. Serta upaya membangun kolaborasi antara jaringan atau lembaga pemantau untuk menjaga keberlanjutan pemantauan.

Rencana Tindak Lanjut ini menjadi komitmen bersama untuk mewujudkan pemantauan independen yang efektif sehingga mampu berkontirbusi nyata bagi pembenahan tata kelola hutan di Indonesia. Meskipun tantangannya mungkin saja besar, upaya bersama yang tercermin dalam RTL ini membutuhkan kolaborasi antar para pemantau independen dan juga pemantau independen dengan pemangku kepentingam lainnya. Dengan demikian, keberadaan pemantau independen sebagai bagian masyarakat sipil dalam menjalankan peran control social dalam setiap kebijakan pembangunan kehutanan, akan menjadi sangat krusial ke depannya dan butuh dukungan agar misinya dapat berjalan dengan lancar.